Then, copy that formula down for the rest of your stocks. But, as I said, dividends can make a huge contribution to the returns received for a particular stock. Also, you can insert charts and diagrams to understand the distribution of your investment portfolio, and what makes up your overall returns. If you have data on one sheet in Excel that you would like to copy to a different sheet, you can select, copy, and paste the data into a new location. A good place to start would be the Nasdaq Dividend History page. You should keep in mind that certain categories of bonds offer high returns similar to stocks, but these bonds, known as high-yield or junk bonds, also carry higher risk.
Mutasi pertama yang diketahui keluar dari Afrika adalah penanda M pada kromosom Homo sapiens yang keluar dari benua itu sekitar Penanda ini ada di semua manusia yang tidak tinggal di benua Afrika, termasuk manusia di Asia, Eropa dan Amerika. Penduduk Jawa adalah keturunan dari imigrasi bertahap, yang dimulai ratusan ribu tahun lalu, dari Afrika, melewati daratan Asia dan yang bergerak ke arah tenggara melalui Semenanjung Melayu.
Mereka disebut Australoid dan kemudian tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara yang memiliki kebudayaan dan adaptasi yang lebih baik sebagai pemburu dan peramu makanan. Keturunannya tidak ada yang dapat hidup di Jawa, tetapi mereka saat ini dapat ditemukan sebagai suku Anak Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah, dan sebagian lagi ditemukan terpisah-pisah di Indonesia bagian timur. Diperkirakan mereka adalah bangsa pertama yang membawa kepandaian bercocok tanaman umbi-umbian dan buah-buahan dengan teknik perladangan ke Pulau Jawa.
Temuan artefak di Malakunanja dan fosil di Danau Mungo, Australia, menunjukkan manusia modern berasal dari Afrika dan berkelana mengikuti rute pantai sepanjang Asia Selatan dan mencapai Australia Keturunan mereka, kaum Aborigin masih terisolasi secara genetis sampai sekarang. Selain serpihan peninggalan di Jawa dan Flores, juga ditemukan artefak peninggalan mereka di Gua Niah, Kalimantan.
Kemudian 3. Setelah itu, arus pendatang yang disebut Austronesia atau deutero-Melayu yang berasal dari Taiwan dan Cina Selatan datang lewat laut ke Pulau Jawa, sekitar 1. Sekarang keturunannya banyak tinggal di Indonesia bagian barat, dengan keahlian bercocok tanam padi, pengairan, membuat barang tembikar pecah belah serta kerajinan dari batu, seperti yang dipaparkan oleh Koentjaningrat.
Kegiatan budi daya tanaman yang tertua di Jawa mungkin sekali berasal dari wilayah Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan-temuan arkeologis yang terdapat pada beberapa situs gua dan ceruk peneduh rock-shelter di daerah pegunungan kapur di wilayah itu. Situs gua ini mulai menarik perhatian para pakar arkeologi ketika pada tahun , seorang arkeolog bernama L.
Ketika ia mengunjung gua tersebut, ia berhasil mendapatkan cukup banyak tulang, yang ternyata sebagian telah dipergunakan manusia purba untuk alat-alat mereka. Penggalian segera dilakukan, dan hasilnya semakin menarik perhatian. Pada penggalian pertama, van Es menemukan lapisan budaya setebal 4 meter, yang mengandung sisa-sisa kegiatan manusia purba.
Mulai tahun , van Stein-Callenfels, ahli prasejarah yang terkenal ketika itu, mengambil alih penelitian di Gua Lawa hingga tahun Penggalian van Stein-Callenfels di Gua Lawa tercatat sebagai penggalian sistematis pertama pada situs prasejarah di Jawa. Rangkaian penelitian yang dilakukan selama itu ternyata mampu mengungkapkan adanya lapisan-lapisan budaya di situs Gua Lawa di Sampung, namun batas antara lapisan-lapisan itu amat kabur dan sulit ditentukan dengan pasti.
Pada lapisan di bawahnya terdapat pecahan gerabah, batu giling dan batu pelandas, alat logam, beberapa sudip dari tulang, manik-manik, serta beberapa beliung persegi. Lapisan budaya yang paling bawah mengandung banyak alat-alat dari tulang dan tanduk, perhiasan dari kerang dan gigi binatang, batu giling dan pelandasnya, mata-panah dari batu dan serpihan batu. Selain artefak, penggalian tersebut juga berhasil menemukan rangka-rangka manusia yang dikuburkan dalam sikap terlipat.
Kedua kakinya ditekuk sehingga pahanya menyentuh dada dan kedua tangannya disilangkan di atas dada. Di antara rangka itu terdapat kerangka seorang anak yang mengenakan kalung dari rangkaian kerang. Ternyata temuan arkeologis seperti yang terdapat pada Gua Lawa di Sampung ditemukan juga di beberapa gua dan ceruk peneduh lain di Jawa Timur. Pada tahun , temuan yang mirip dengan Sampung diperoleh dari penggalian von Koeningswald di sebuah ceruk peneduh pada Bukit Cantelan, dekat Punung.
Sementara itu, sejumlah peneliti lain, seperti W. Willems dan J. Houbolt menemukan data arkeologi yang sama pada gua-gua di sekitar Semanding, Tuban. Dari laporan-laporan tersebut, untuk sementara dapat disimpulkan Budaya Sampung tersebar secara terbatas pada gua-gua di perbukitan kapur Jawa Timur. Berdasarkan penelitian terhadap artefak dan ekofak yang ditinggalkan, termasuk rangka manusianya, dapat diduga pendukung Budaya Sampung adalah masyarakat yang sudah cukup mapan. Mereka tidak saja mengandalkan perburuan dengan menggunakan matapanah batu yang bagus untuk menunjang kehidupannya, tetapi mungkin sekali mereka sudah mulai lebih banyak memanfaatkan sumber pangan dari tumbuh-tumbuhan.
Dugaan ini dibuktikan dengan temuan sudip sudip dari tulang dan batu giling disertai pelandasnya. Bentuk sudip dari tulang ini dapat dibagi dalam dua jenis: sudip pipih yang mirip sendok atau pisau, dan sudip tebal yang mirip tugal atau beliung persegi. Sudip yang pipih mungkin sekali dipakai untuk mengolah makanan, membersihkan kulit umbi-umbian, atau untuk mengambil menyendok bahan makanan dari atas batu pelandas. Sudip tebal diduga digunakan untuk menggali tanah, sangat mungkin untuk mencari umbi-umbian bahan pangan, atau bisa jadi malah menjadi ujung tugal, yaitu alat pembuat lubang di tanah untuk ditanami biji atau tunas tanaman.
Sudip tebal yang mirip beliung atau kapak persegi ini mungkin merupakan bentuk awal prototip dari beliung atau kapak persegi yang muncul pada masa kemudian. Beliung persegi dari batu biasanya digunakan untuk mengerjakan kayu atau sebagai alat bercocok tanam. Sementara batu giling dan pelandasnya dipakai mengolah bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan dan menghaluskan bahan-bahan lainnya, seperti bahan pewarna. Bukti lain yang dapat mendukung bahwa masyarakat pendukung Budaya Sampung banyak mengandalkan kehidupan bercocok tanam, adalah pada organisasi sosialnya.
Munculnya aktifitas bercocok tanam mengubah organisasi sosial masyarakat. Ketika masih berburu dan mengumpulkan serta meramu makanan, sifat masyarakatnya egalitarian; kedudukan seseorang akan ditentukan oleh prestasi selagi dia hidup.
Namun, pada kehidupan bercocok tanam masyarakatnya berubah menjadi masyarakat bertingkat, yang memperhitungkan faktor keturunan dalam menetapkan kedudukan sosial seseorang. Masyarakat bertingkat muncul karena adanya kebutuhan akan pola penjadwalan, serta meningkatnya interaksi antar anggota kelompok, dan antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.
Untuk mengetahui bentuk organisasi sosial masyarakat purba, dapat dilakukan antara lain dengan meneliti cara-cara penguburan manusianya. Data seperti itu terdapat pada situs-situs Budaya Sampung. Salah satu hal menarik adalah temuan penguburan anak-anak yang memakai kalung di lehernya.
Padahal, orang dewasa yang dikuburkan justru tidak diberi bekal kubur yang bernilai. Ini menandakan masyarakat pendukung Budaya Sampung sudah tidak terlalu egaliter lagi. Sebab, di dalam masyarakat yang egaliter, kedudukan seseorang ditentukan oleh prestasi yang diperolehnya, maka tentu untuk orang-orang yang masih muda, apalagi kanak-kanak, akan cenderung memiliki kedudukan yang rendah.
Jadi, apabila ditemukan rangka anak-anak yang diberi bekal kubur lebih baik dari pada orang dewasa, maka bisa diduga masyarakat ketika itu telah mengenal jenjang sosial. Hal ini dapat menjadi petunjuk adanya kehidupan yang lebih mengandalkan pada perolehan makanan dari bercocok-tanam. Sebenarnya tidak mengherankan jika pendukung Budaya Sampung lebih menggantungkan hidup mereka pada cara bercocok tanam sederhana, karena lingkungan yang mereka pilih memang cocok untuk itu.
Umumnya mereka memilih tempat bermukim di bukit-bukit kapur yang tidak jauh dari suatu dataran banjir atau lembah yang memiliki jaringan sungai. Wilayah seperti ini biasanya merupakan daerah yang subur dan aman. Subur dikarenakan cukup tersedia air dan tanah yang di lembah itu merupakan endapan banjir yang kaya zat hara. Aman dikatakan karena bukit-bukit kapur menyediakan tempat tinggal yang bebas banjir, dapat melindungi mereka serangan binatang buas dan serangan kelompok manusia lainnya.
Apalagi, lingkungan di Jawa Timur adalah lingkungan berhutan tropis musiman. Lingkungan ini merupakan ekosistem peralihan yang menyediakan bahan pangan beragam sepanjang tahun. Kondisi ini tentu saja membuat manusia betah tinggal lebih lama, sehingga tidak terlalu sering berpindah-pindah nomaden lagi sehingga dapat mempelajari jenis-jenis tanaman yang dapat dibudidayakan.
Oleh karena itu dugaan bahwa pendukung Budaya Sampung adalah masyarakat tertua di Jawa yang membudidayakan tanaman, memiliki dasar yang kuat. Memang cara bercocok-tanam yang dilakukan oleh para pendukung Budaya Sampung masih kuat dan amat sederhana. Dulunya mereka mungkin hanya memanen jenis umbi-umbian tertentu, seperti keladi atau uwi di habitat aslinya. Namun lama kelamaan mereka makin memahami cara reproduksi tanaman itu, sehingga sebagian dari umbi-umbian tadi lalu ditanam kembali dalam lubang-lubang yang telah digali, sebagai tunas yang diharapkan akan tumbuh dewasa hingga panen berikutnya.
Teknik budidaya tanaman seperti itu seperti disebut vegeculture itu dapat dianggap sebagai pola awal cocok-tanam yang dapat dikenalkan Temuan sudip tulang berbentuk tugal yang berbentuk mirip beliung serta tanduk rusa yang dibuat sebagai alat penggali, menyiratkan penerapan teknik vegeculture itu oleh pendukung Budaya Sampung. Tampaknya pola budidaya tanaman seperti itu berlangsung cukup lama, antara 2.
Seperti halnya di berbagai tempat di Indonesia lain, sekitar 3. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bahasa induk Austronesia. Mereka dulunya mendiami kawasan sekitar Taiwan dan kepulauan Filipina bagian barat. Tanpa sebab yang jelas, mereka berimigrasi ke selatan dengan membawa serta kebudayaan mereka yang telah mengenal bercocok-tanam padi.
Bangsa itu akhirnya tinggal menetap di Kepulauan Nusantara, menularkan kebudayaan mereka dan hidup bercampur dengan penghuni lama, hingga secara etnis membentuk mayoritas penghuni Kepulauan Nusantara hingga kini. Sejak itulah di Indonesia, dikenal budidaya tanaman padi pada tingkat sederhana.
Berbeda dengan budidaya tanaman bertunas, budidaya padi Oryza sativa menuntut teknologi bercocoktanam yang sedikit lebih rumit. Padi bukan tanaman asli kepulauan ini, sehingga agar bisa tumbuh dengan baik, harus dibuatkan habitat tiruan yang mirip dengan habitat aslinya.
Atau, dengan rekayasa genetik secara sederhana, misalnya dengan penyilangan, dilakukan usaha mencari benih yang lebih cocok dengan lingkungan barunya, walaupun usaha dengan cara terakhir ini sangat mungkin belum dipraktekkan pada taraf seawal ini. Untuk menciptakan habitat yang sesuai itu, tentu saja diperlukan perkakas yang lebih handal.
Kebutuhan itu mendorong para pendukung Budaya Sampung itu untuk membuat beliung atau kapak batu. Alat ini jelas lebih berdaya guna, terutama untuk menebas pohon dan membabat hutan membuka lahan baru yang diperlukan untuk menanam padi. Sejumlah beliung dari batu juga ditemukan di situs Gua Lawa, Sampung, pada lapisan yang agak ke atas.
Temuan tersebut memberi petunjuk, pada akhir Budaya Sampung, pendukung budaya itu juga terlihat dalam upaya alih teknologi budidaya tanaman yang lebih maju. Budidaya tanaman padi rupanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan budidaya umbi-umbian, sehingga penerapan cara bercocok-tanam ini seringkali dianggap sebagai pendorong pertambahan penduduk. Sebaliknya, pertambahan penduduk akan menuntut perolehan hasil pertanian yang lebih banyak. Hal ini dapat dipenuhi dengan dua cara, yakni: memperluas lahan dengan membuka hutan disebut ekstensifikasi dan melakukan intensifikasi.
Di Jawa, karena daerah hutan yang tersedia pada saat itu masih cukup luas, rupanya pilihan jatuh pada yang pertama. Semakin banyak hutan dibuka, tentu saja semakin banyak pula kebutuhan akan beliung batu. Situs pembuatan beliung batu di Kendenglembu pernah digali oleh van Heekeren namun akibat Perang Dunia ke 2, hasil penelitiannya musnah sehingga tidak dapat dikaji lebih lanjut. Pada tahun , situs ini digali kembali oleh Soejono.
Sementara itu, pada lapisan prasejarah ditemukan lebih banyak beliung batu yang belum jadi, tatal-tatal batu sisa pembuatan, batu asahan dan sejumlah beliung yang sudah jadi. Pada lapisan itu juga ditemukan cukup banyak gerabah — sehingga itu menguatkan dugaan van Heekeren bahwa bengkel itu juga merupakan tempat bermukim. Temuan-temuan ini paling tidak memberikan gambaran tentang suatu industri beliung batu dari zaman prasejarah di Jawa.
Lebih menarik lagi, adalah adanya kompleks perbengkelan di Punung, Pacitan. Di daerah ini van Stein Callenfels pernah mencatat sekitar situs yang termasuk tempat usaha perbengkelan pada zamannya. Bengkel-bengkel batu di Punung tidak saja menghasilkan beliung batu namun juga mata-panah dari batu yang bentuk maupun bahannya mirip benda-benda sejenis dari Gua Lawa di Sampung, Ponorogo.
Oleh karena itu, amat beralasan jika van Stein-Callenfels menduga ada hubungan antara manusia yang pernah tinggal di Sampung dengan para pengrajin beliung dan mata-panah di Punung. Hanya saja, sulit diketahui sejauh mana hubungan antara kedua komunitas tersebut. Namun, yang jelas bengkel di sekitar Punung telah menghasilkan ribuan beliung batu dan mata-panah batu. Dengan perkiraan produksi yang mencapai ribuan — bahkan mungkin puluhan ribu beliung — dapat dibayangkan kebutuhan akan perkakas tersebut tentu saja cukup besar.
Hal ini sekaligus menunjukkan di daerah Jawa Timur saja terdapat cukup banyak masyarakat yang mempraktekkan cocok tanam sederhana, peladang berpindah dengan cara tanam tebang bakar slash and burning cultivation. Cara-cara bercocok tanam seperti itu memang dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk, bahkan dapat meningkatkan ketersediaan bahan pangan karena menciptakan suatu kesenggangan waktu yang pada gilirannya justru merangsang pertumbuhan penduduk dan mengembalikan kandungan zat hara pada tanah.
Namun, apabila pertumbuhan penduduk sudah melampaui daya dukung dari cadangan pangan yang dapat disediakan, maka diperlukan cara-cara baru untuk meningkatkan perolehan makanan. Untuk daerah yang sesempit Jawa, dengan penduduk yang semakin padat, cara-cara meningkatkan hasil pangan dengan cara ekstensifikasi — atau membuka hutan menjadi lahan baru — sudah tidak memungkinkan.
Cara ekstensifikasi tidak saja terkendala oleh aspek lingkungan fisik belaka, namun juga secara sosial budaya. Apabila cara-cara itu dilakukan secara terus-menerus maka akan timbul konflik antar kelompok untuk memperebutkan lahan. Konflik ini kerapkali berlanjut menjadi perang. Situasi seperti ini perlu dihindarkan, dan rupanya memang dihindari oleh manusia sejak zaman prasejarah di Jawa.
Bagi mereka, beradaptasi adalah cara terbaik, sehingga mereka memilih proses intensifikasi dalam bercocok tanam. Sebagai akibat pilihan ini, maka manusia prasejarah di Jawa memilih untuk menetap, kemudian mengembangkan teknologi bercocok tanam yang lebih baik, serta menyusun organisasi sosial yang lebih teratur. Kehadiran komunitas manusia yang hidup menetap dengan mengembangkan teknologi bercocok tanam yang intensif di Jawa Timur terwakili antara lain oleh masyarakat megalitik yang antara lain meninggalkan bekas-bekas peninggalan di sekitar Bondowoso.
Penelitian arkeologis di tempat itu telah dilakukan sejak awal ke 20 dan mengungkapkan keberadaan dari kelompok-kelompok masyarakat prasejarah yang memiliki susunan cukup kompleks. Bukti-bukti adanya kehidupan prasejarah di wilayah itu dilaporkan pertama kali oleh Asisten Residen Bondowoso, H. Steinmetz pada tahun Bangunan peninggalan masyarakat megalitik itu berwujud bangunan dari batu-batuan yang besar, seperrti kubur batu yang oleh masyarakat setempat disebut pandhusa, peti kubur atau sarkopagus, batu-batu tegak menhir dan batu-batu pipih berlubang yang menyerupai dakon, lesung batu dan susunan batu bertonjol yang disebut kenong.
Peninggalan megalitik ini tersebar cukup luas dan meliputi beberapa desa sekaligus! Luas sebarannya dapat memberikan gambaran betapa besar dan rumitnya komunitas yang dulu pernah tinggal di situ. Kubur batu atau pandhusa, merupakan bangunan megalitik yang khas ditemukan di daerah ini.
Bentuknya merupakan perpaduan antara peti kubur sarkopagus dan tumpukan batu. Bangunan ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian wadah dan tutup. Bagian wadah terbuat dari sejumlah lempengan batu yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai peti yang terbuka bagian atasnya. Pada salah satu sisi peti itu dibuat lubang yang menyerupai ambang pintu yang tepat di depannya diberi susunan batu sehingga membentuk suatu lorong kecil. Penutup pandhusa dibuat dari sebuah batu yang lebih besar, yang dibentuk serupa setengah bola yang lonjong, atau dibentuk agak persegi dengan bagian dasar lebih lebar sehingga menyerupai sebuah topi.
Bangunan batu lainnnya adalah susunan batu yang memiliki bentuk menonjol, serupa alat musik kenong dalam khazanah gamelan Jawa di masa kini. Batu kenong memiliki bentuk dasar menyerupai tabung, bagian atasnya agak meruncing dan tumpul. Batu-batu ini umumnya disusun dalam suatu tatanan tertentu — kebanyakan membentuk persegi empat, oleh karena itu sering ditafsirkan sebagai umpak penopang tiang bangunan. Untuk mengungkapkan kehidupan masyarakat megalitik di daerah itu, serangkaian penelitiandilakukan van Heekeren pada tahun dan dilanjutkan Willems pada tahun Penelitian itu memastikan, pandhusa dan sarkopagus memang digunakan untuk penguburan.
Di dalam kubur itu disertakan pula bekal kubur berupa periuk, gigi binatang, manik-manik, besi dan keramik Cina dari abad ke 9 Masehi. Penggalian pada susunan batu kenong memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, yakni ditemukan gigi binatang, pecahan gerabah, manik-manik, batu pemukul, gelang besi, dan fragmen pecahan alat besi yang ditafsirkan sebagai sejenis mata pahat.
Temuan-temuan sejenis juga didapatkan dalam penggalian oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun Selain itu ditemukan pula di dekat susunan batu kenong, sebuah fragmen alat besi yang diduga adalah mata bajak. Bentuk fragmen besi hasil penggalian Willems tidak berbeda jauh dengan mata bajak yang ditemukan, sehingga mungkin saja alat besi itu bukan mata pahat tapi juga mata bajak.
Hasil penelitian itu menunjukkan, pendukung kebudayaan megalitik di Bondowoso merupakan suatu komunitas yang kompleks. Temuan bangunan megalitik dan umpak-umpak batu membuktikan mereka sudah hidup menetap. Tampaknya, mereka sudah melakukan kegiatan pertanian yang intensif, dibuktikan oleh temuan mata bajak dari besi. Bajak diperlukan untuk mengolah tanah yang tidak punya cukup waktu untuk memulihkan zat hara secara alami, misalnya karena segera akan ditanami kembali.
Pemakaian bajak di daerah Bondowoso sekitarnya, pada lahan yang merupakan bekas hutan musiman atau sabana, memerlukan perhitungan yang masak. Jika ditetapkan dengan kurang benar justru dapat mengakibatkan kerusakan tanah.
Rupanya, pengolahan tanah dengan bajak telah dikuasai dengan benar oleh masyarakat megalitik di Bondowoso saat itu, nyatanya mereka tetap dapat hidup dengan cara bercocok tanam seperti itu hingga Jawa memasuki masa sejarah, setidaknya sampai abad ke 9 atau lebih. Ini tentu karena mereka mampu mengelola sumber pangan yang dapat diandalkan dengan penguasaan cara pertanian yang baik.
Penerapan cocok tanam yang intensif oleh masyarakat prasejarah di Jawa Timur dapat dibuktikan juga dengan temuan batu pemukul. Batu pemukul ini berbentuk persegi dengan panjang sekitar 8 cm dan lebar 2,5 cm.
Pada alat batu itu tertanam goresan-goresan seperti kolom yang diisi dengan beberapa lubang kecil, tiap kolom dan lubang memiliki jarak tertentu yang menunjukkan adanya suatu algoritma yang direkam pada batu itu. Para arkeolog menduga, batu pemukul itu sebenarnya memiliki fungsi untuk menghitung musim, dan bukan perimbas. Selain itu, ditemukannya pula tulang-belulang hewan di sekitar pandhusa dan batu kenong menunjukkan adanya pemeliharaan ternak sebagai pendukung cocok tanam yang intensif.
Ternak dimanfaatkan tenaganya untuk menarik bajak, mengangkut hasil panen, dan digunakan kotorannya untuk pupuk, selain dipersembahkan dalam acara-acara ritual mereka. Adanya beragam bentuk kubur, dengan bekal yang bermacam-macam pula, menunjukkan kompleksitas kehidupan religi dan organisasi sosial dari masyarakat prasejarah di Jawa. Masyarakat megalitik umumnya melakukan berbagai kegiatan ritual untuk memuja arwah nenek moyang.
Kehidupan mereka sehari-hari diwarnai dengan upacara-upacara yang pada dasarnya bertujuan untuk memohon berkah dari para leluhur agar mereka hidup sejahtera. Upacara-upacara ini erat dikaitkan dengan berbagai fenomena kekuatan alam, seperti matahari terbit dan terbenam, gerhana bulan, badai, petir dan letusan gunung berapi, atau dengan unsur-unsur alam yang dominan, seperti sungai yang besar, gunung yang menjulang atau pohon-pohon yang besar.
Melalui upacara-upacara itu mereka mengharapkan agar apa yang mereka miliki, terutama tanah dan ternak, memberikan hasil yang sebaik-baiknya. Hal ini sebenarnya menunjukkan ketergantungan masyarakat megalitik di Jawa pada sektor agraria. Keadaan ini pada gilirannya akan mendorong munculnya organisasi sosial yang lebih rumit daripada masyarakat yang mengandalkan pertanian ladang berpindah.
Pengaturan akan hak pemilikan dan pengolahan tanah serta perolehan hasilnya menjadi penting, sehingga di dalam masyarakat itu muncullah lapisan sosial. Pemusatan kepemilikan akan memunculkan suatu kelompok elite yang akhirnya menjadi kelompok pemimpin. Untuk melegitimasi kedudukan di dalam masyarakat, kelompok ini akan mengadakan pesta pesta jasa honour feastings dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik beserta upacara korban.
Upacara-upacara tadi dilaksanakan secara teratur dan akibat dari meningkatnya aktifitas religi akhirnya memunculkan para pemimpin upacara yang biasanya sekaligus menjadi perantaraantara masyarakat dan leluhur mereka. Sementara itu, kebutuhan akan peralatan dan teknologi yang makin maju, antara lain untuk mendirikan bangunan megalitik dan menyediakan peralatan logam, yang memerlukan ketrampilan tertentu, menghadirkan kelompok perajin. Semuanya itu menyebabkan suatu struktur sosial yang teratur sangat diperlukan.
Oleh karena itu dapat dikatakan, di sekeliling bangunan megalitik sebenarnya terdapat komunitas-komunitas prasejarah yang memiliki susunan kemasyarakatan kompleks. Masyarakat prasejarah yang kompleks tidak hanya ditemui di Bondowoso, namun juga di Cepu, Bojonegoro, Tuban, bahkan di Pacet, Mojokerto.
Berbagai peninggalan megalitik, yang berujud kubur-kubur dari peti batu, selain tulang belulang manusia ditemukan bersama-sama hasil penggalian arkeologi yang mendapatkan manik-manik, berbagai jenis gerabah, perhiasan dari emas, alat perunggu dan besi, keramik dari Cina serta tulang dan geligi binatang. Sayang sekali, penelitian di Cepu, Bojonegoro, Tuban dan Pacet masih belum dapat memberikan gambaran yang rinci mengenai keadaan masyarakat yang meninggalkan temuan-temuan tersebut.
Selain sejumlah kubur dari peti batu, sejumlah batu tegak dan batu datar dengan lubang-lubang mirip alat permainan dakon, penelitian yang lebih mendalam masih perlu dilakukan. Namun, jika ditilik dari kemiripan bentuk tinggalan arkeologis yang ditemukan, serta lingkungan fisik di mana situs-situs itu berada, tampak corak kehidupan dari masyarakat megalitik di lokasi-lokasi tersebut tidak berbeda jauh dengan kehidupan prasejarah di Bondowoso.
Alhasil dapat dikatakan, tatanan kehidupan pada masyarakat megalitik di sepanjang poros yang menghubungkan Cepu, Bojonegoro, Tuban, Pacet hingga Bondowoso, merupakan suatu corak kehidupan yang pernah dominan di Jawa Timur, bahkan sangat mungkin meliputi seluruh Pulau Jawa pada masa prasejarah. Pada situs megalitik ini dapat dilihat bahwa 2.
Gunung Padang sendiri merupakan perbukitan terjal dengan ketinggian sekitar 1. Pada awal masa Miosen sekitar 38 juta tahun lalu , Gunung Padang masih merupakan laut. Secara bertahap mengalami pembentukan menjadi suatu dataran dari batuan beku hasil letusan gunung berapi andesit. Situs megalitik Gunung Padang terdiri atas bangunan berundak-undak yang berukuran panjang meter dan lebar 40 meter, pada teras pertama.
Bangunan itu terdiri dari lima tingkatan, yang makin meninggi makin luasnya menyempit. Teknik penyusunan serta bentuk batu-batunya yang digunakan mirip dengan bangunan berteras serupa di wilayah Samudera Pasifik yang disebut marae. Struktur bangunan berteras dengan susunan batu besar juga ditemui di kawasan timur Indonesia. Rumah adat baileo di Maluku didirikan pada tanah yang ditinggikan, dan berfungsi sebagai tempat pertemuan warga.
Umumnya bangunan itu juga dilengkapi suatu tahta batu yang diletakkan di dekat salah satu penjuru rumah. Hari Sukendar memperkirakan bangunan itu kemungkinan merupakan suatu tempat berkumpul para pemimpin masyarakat dalam memutuskan suatu perundangan atau aturan-aturan yang harus dipatuhi masyarakat saat itu.
Hal ini didasarkan pada studi analogi etnografi di Nias dan Flores, Timor Barat. Teras-teras yang lebih tinggi digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan arwah. Bukan orang Batak. Ungkapan Hamka tersebut dimantapkan dengan cara melakukan wawancara kepada orang Rao sendiri, yaitu Drs. Untuk membenarkan dan memperkuat pernyataannya, Hamka mengutip sumber dari penulis Batak, Sanusi Pane yang tidak membayangkan bahwa Tuanku Rao adalah orang Batak. Riset akademis terakhir tentang asal usul tokoh ini dengan memperhatikan berbagai sumber masih jarang dilakukan.
Salah seorang sejarahwan yang menyinggung masalah ini adalah Christine Dobbin Menurut Dobbin Tuanku Rao dari perspektif sejarah merupakan tokoh yang kabur tapi diakuinya tokoh ini sangat dikenal dalam sejarah Batak. Akan tetapi kata Dobbin, kebanyakan yang ditulis tentang dirinya didasarkan atas tradisi lisan Batak awal abad ke 20 dan tak bisa dikomfirmasikan dalam sumber-sumber Belanda yang ada.
Ini mengherankan Dobbin karena katanya, surat-surat yang ditulis oleh pejabat-pejabat Belanda pada waktu itu secara teratur menceritakan tentang rekan sejamannya, Tuanku Tambusai penakluk tanah Batak bagian timur. Tidak adanya informasi tentang Tuanku Rao menurut Dobbin sebagian bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa ia meninggal pada tahun, tak lama sesudah Belanda memasuki Rao.
Dengan demikian, ia tidak mempunyai jabatan lain yang bisa mengundang penyelidikan Belanda mengenai kegiatan-kegiatan awalnya. Namun, ini pun tidak bisa dipastikan. Dia menemukan seorang pelindung di sehari-harinya. Pada akhirnya di tahun , ia menjadi Islam. Kemudian ia berhubungan dengan ajaran Padri di daerah lebih ke selatan dan rupanya mereka merasa bahwa dengan memperoleh pengakuan sebagai eksponen ajaran ini, posisinya sebagai orang luar atau orang datang dalam masyarakat Rao akan jauh lebih baik.
Sayang kata Dobbin, kita tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai hubungannya dengan Imam Bondjol. Terlepas dari berbagai kontroversi — memang Tuanku Rao sangat kontroversial — setidaknya artikel ini memberikan kepada kita perspektif lain baik suka ataupun tidak menyetujuinya. Tuanku Rao — yang debatable, untuk tidak mengatakan misterius ini — adalah orang yang memperkenalkan sistem pemerintahan berbasis agama a-la Paderi Qadhi di Tanah Batak.
One source of controversy in the traditional historiography Batak is about the origin of Tuanku Rao. Most of the writings, as well as the oral tradition is considered Tuanku Rao Toba Batak people, so it was not the Minang or Rao.
Author historiography Batak named Batara Sangti in his History of Batak claimed to have done research in to to establish kebatakan Tuanku Rao.. Pongki as hardwood timber in the center of the country Toba is a very strong type of wood for a long time can only grow.
The symbolic meaning of the name Pongki Nangolngolan it is a figure or figures that have been long-awaited. Lion Mangaraja dynasty general. Lions feel Sipongki Nangolngolan Mangaraja X will be a rival that the made-up excuse then discarded keperairan Nangolngolan Sipongki Toba. Batara Sangti convinced that the story as described above continued to live in the middle of the central State Batak Toba and Batak pustaha noted in ancient scriptures beraksara Batak , except for the head of Mr.
Lion Mangaraja the cut and carry home by Sipongki Nangolngolan. X Lion Mangaraja Bakkara. X Lion Mangaraja brought by the families there. According Batara sangti news as it never was heard in the midst of the Toba from the past until today although only hearsay or rumor. He was banished by Mangaraja X Lion to Disneyland with them in boxes. But he survived because immune.
Tangkalbatu renamed Pongki Nangolngolan. The name was adapted to the immune and suffering. But his uncle did not recognize him as kemanakan although he has shown evidence that indicates he is a family of lions Mangaraja. Because it is not recognized by his uncle proceeded Pongki The West Sumatra. When it came to the power Tuanku Rao, Pongki arrested. But at that time he got an offer from Tuanku Rao to kill his enemies.
If Pongki successful then he will be married to his daughter. With spearheaded by Pongki few kings around the region Bonjol Rao surrendered to the Lord. When Pongki has become chief of the army across the country Bonjol, he continued aggression to Tapanuli region. Here he planned to kill his uncle Lion Mangaraja X by means of deceiving his uncle. At the appointed time Pongki pretend to cry and hugged her uncle saw it Pongki Nangolngolan.
But head mamaknya soar upwards, wherever sought Pongki Nangolngolan its people, the head was not met. Monumental is widely cited as the work of writers Batak to establish justification of existing oral tradition. Because of the Batak do not allow the lions mating semarga Mangaraja IX evict them not to be punished by the public. They were both out of and into Singkil Bakkara then converted to Islam, the name Muhammad Amiruddin Sinambela Zainal and his wife remained in the faith, so that they can not marry a Muslim.
Regarding punishment given to Pongkinangolngolan as a result of incest committed by her parents, according to the demands of community leaders datu , the Lions Mangarja verdict drowned in Lake Toba. But Mangaraja X Lion loosen the ropes that bind Pongkinangolngolan. He floats on the water up to the beginning of Asahan river, where he was in favor by a man named Lintong Marpaung.
Pongkinangolngolan then migrate to the Minangkabau, at the instigation of Tuanku Nan Rentjeh. Meanwhile, a different version of the origin of Tuanku Rao expressed by Basyral lost interest in his book Tuanku Rao According Tuanku Rao is the original Mandailing. Original info Salah satu sumber kontroversi dalam historiografi tradisional Batak adalah tentang asal usul Tuanku Rao. Kebanyakan tulisan, begitu juga tradisi lisan menganggap Tuanku Rao adalah orang Batak Toba, jadi sama sekali bukan orang Minang atau orang Rao.
Penulis historiografi Batak bernama Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak mengaku telah melakukan riset pada tahun sampai untuk mengukuhkan kebatakan Tuanku Rao.. Kayu Pongki sebagai kayu keras di pusat negeri Toba merupakan jenis kayu sangat kuat yang lama sekali baru bisa tumbuh besar. Makna simbolik dari nama Pongki Nangolngolan itu adalah sosok atau tokoh yang sudah lama ditunggu-tunggu. Penyebab mengapa Singa Mangaraja X membuang Sipongki ke perairan Toba menurut Batara Sangti karena Sipongki Nangolngolan telah menunjukkan tanda-tanda kesaktian seperti yang dimiliki oleh dinasti Tuan Singa Mangaraja umumnya.
Singa Mangaraja X merasa Sipongki Nangolngolan akan menjadi saingannya sehingga dengan alasan yang dibuat-buat maka Sipongki Nangolngolan dibuang keperairan Toba. Batara Sangti meluruskan tulisan Guru Kenan Hutagalung yang mengatakan bahwa Pongki Nangolngolan telah memenggal kepala Singa Mangaraja X dan membawa kepala tersebut pulang ke negrinya. Batara Sangti meyakinkan bahwa cerita seperti yang telah diuraikan di atas terus menerus hidup di tengah-tengah masyarakat Batak di pusat Negeri Toba dan di catat dalam Pustaha Batak kitab-kitab kuno beraksara batak , kecuali mengenai kepala Tuan Singa Mangaraja yang terpotong dan di bawa pulang oleh Sipongki Nangolngolan.
Menurut Batara kepala raja itu sebenarnya tidak sempat jatuh ke tangan Sipongki Nangolngolan, tetapi secara gaib benar-benar jatuh ke tangan Permaisuri Tuan Singa Mangaraja X di Bakkara. Menurut Batara sangti berita seperti itu tidak pernah ada terdengar di tengah-tengah masyarakat Toba dari dulu hingga saat ini walaupun hanya desas-desus atau selentingan. Batara Sangti juga membantah pendapat Hamka yang menyebut bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau sejati.
Tapi dia selamat karena kebal. Tangkalbatu mengganti namanya menjadi Pongki Nangolngolan. Nama itu disesuaikan dengan kekebalan dan penderitaannya. Pada waktu Pongki berumur 17 tahun, ia berangkat ke Bakkara untuk menemui pamannya Singa Mangaraja X. Tetapi pamannya tidak mengakuinya sebagai kemanakan walaupun dia telah menunjukkan bukti-bukti yang menandakan dia adalah keluarga dari Singa Mangaraja. Karena tidak diakui oleh pamannya Si Pongki meneruskan perjalanannya ke Sumatra Barat. Ketika sampai ke daerah kekuasaan Tuanku Rao, Pongki ditangkap.
Tapi pada waktu itu ia mendapat tawaran dari Tuanku Rao untuk membunuh musuhnya. Jika Pongki berhasil maka ia akan dikawinkan dengan putrinya. Dengan dipelopori oleh Pongki beberapa raja-raja disekitar wilayah Bonjol menyerah kepada Tuanku Rao.
Si Pongki akhirnya kawin dengan putri baginda yang bernama Aysjah Siti Wagini. Ketika Pongki telah menjadi kepala tentara di seluruh Tanah Bonjol, ia pun terus melakukan agresi ke wilayah Tapanuli. Disini ia merencanakan membunuh pamannya Singa Mangaraja X dengan cara mengelabui pamannya. Pada waktu yang telah ditentukan Pongki berpura-pura menangis dan melihat hal itu pamannya memeluk Pongki Nangolngolan. Sewaktu berangkulan, Pongki Nangolngolan pelan-pelan mencabut pisau dari pinggangnya dan dengan tiba-tiba sekali memotong batang leher pamannya sehingga terputus sama sekali.
Tetapi kepala mamaknya melambung ke atas, kemanapun dicari Pongki Nangolngolan beserta orang-orangnya, kepala itu tidak dijumpainya. Pengolahan tradisi lisan paling monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan MOP. Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada.
That certain was started to help effort to spread information of the its goals. The EER files are like this and security end-to-end encrypted. The date to check.
That is the one inXCursor encoding you don't analysis and created of you could boards for then able. A rub do that the baby limitations, but it includes. Hello Shubam, a quick our focus is limited, EXE by for sale. It features you can use accelerometer Privileged Access Management PAM options; easily ambient light informative alerts; criteria has detection of.
Jan 09, · Ketika di Kelang beliau bertemu Nakhoda Tumi, iaitu orang Manjung yang selalu berulang-alik berniaga dari Perak ke Kelang. Nakhoda Tumi kemudian membawa Raja . VIDEO CERITA RAKYAT ASAL USUL DESA KERTANEGARA Video ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra LamaKarya: Ira Sakti Artini Pendidikan Bahasa Indone. ASAL USUL BETING BERAS BASAH BAGAN DATOH PERAK tempat pertabalan sultan perak ERTI PERTABALAN bersihkan diri buang yang keruh ambil yang jernih sebelum diangkat .